Batas

Batas

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Dalam Hati (Terpendam), Cerpen Galau, Cerpen Patah Hati
Lolos moderasi pada: 3 May 2019 Aku pun tak pernah menyukai sebuah cerita sedih namun kusadari bahwa tidak akan ada cerita bahagia apabila cerita sedih itu tidak terjadi, dan barangkali dalam cerita ini
Kebahagiaan adalah tempat yang tidak bisa untuk kudatangi. Jika saja soal asmara itu mampu kuurai semudah aku jatuh cinta kepadanya bisa jadi apa yang kusebut dengan hati, masih bisa untuk kubentuk kembali.
Ada saat tertentu beberapa tetes air mata memang diperlukan dan sedikit rasa sakit harus engkau terima untuk menyeimbangkan sebuah kehidupan, agar engkau mampu memperlakukan kebahagiaan dalam keadilan dan rasa sedih dengan bijaksana.
Kuharap engkau cepat tumbuh dewasa supaya mengerti dengan apa yang sedang kubicarakan ini. karena mungkin kau pun akan merasakannya jika bukan sekarang barangkali nanti, namun semoga saja hanya aku.
Kepada kamu yang tidak dicintai. Bersiaplah untuk menerima seperti apa rasanya berteman dengan rasa sedih dan kebencian yang menyayat setiap ulu hatimu dan ia juga meringkus setiap aliran darah dalam tubuhmu dengan perih. Lalu kamu akan bersusah payah hanya agar bisa berdiri seperti biasanya, belajar untuk sedikit tersenyum namun banyak menerima tatkala orang yang engkau cintai mendapatkan cintanya, bukan cintamu tapi cinta dari seseorang yang dia cintai, dan di saat itulah aku harus belajar beranjak mendewasakan untuk mampu bertahan, belajar terus bernafas tatkala pedih merauk menyingkup degup jantungku, belajar untuk tetap melanjutkan hidup tanpa ditemani dengan apa yang kusebut dengan kebahagiaan. Lalu dengan tubuh gemetar dan langkah tertatih mencoba untuk terus bermimpi meskipun pada dasarnya mimpi yang sebenarnya tak lagi untuk mampu kuingat, hancur tak berdebu.
Kemudian mencoba mengubah setiap mimpi indah yang tak lagi berbentuk itu menjadi pijakan dalam menciptakan mimpi yang baru. Mimpi dalam kehidupan tak berjantung. Maka duduklah sebentar biar kuperjelas ceritanya, karena masih banyak sesak yang belum kau dengar, masih terlalu banyak rindu yang belum kau lihat.
Angin meliuk, bergandengan dengan sinar senja merambah pada setiap dahan lalu meliuk kembali kemudian baru mengakar menuju tanah, tak ada satupun awan yang menggaggu langit biru, angkasa sempurna membiru menjulang tinggi, latar suasana yang indah dalam kehidupan namun tidak dengan latar hatiku, warnanya tidak biru melainkan pekat. Kurapikan kembali kemejaku, lalu meraih buku bersampul coklat itu yang telah kusam termakan oleh waktu. Aromanya masih sama seperti dulu, aromanya masih untuk seorang gadis yang tetap bersemayam diam dalam hatiku. kubaca kembali setiap abjad puisi-puisi yang sudah sejak 10 tahun lalu itu kutulis untuknya namun sayang, tak pernah ada satupun yang terbaca olehnya. Tak pernah ada sedikit rindupun yang besua dengan pemiliknya.
Pagi yang elok adalah perjumpaan denganmu
Tiada yang paling manis selain seutas senyummu
Wahai gadis yang berjilbab berantakan
Bolehkah kumiliki sepotong ruang di hatimu
Jakarta, 19 Oktober 2006
Kertas itu menguning, tintanya tak lagi setegas dulu, namun setiap detail dari kenangannya masih segar dalam ingatanku. Di hari itu aku menulis puisi pertamaku untuknya, ragu ragu memandang wajahnya lalu diam kikuk saat mata kami saling bertemu, kemudian dengan cepat aku akan melangkah keluar dari ruang kelas. Menyeiramakan degup jantungku yang sudah berlari mendahului aba-abaku lalu tersenyum kembali saat mengingat wajahnya. Ah, di umur semuda itu aku sudah merasakan cinta.
Gadis itu berjilbab lebar, memiliki mata menawan seperti menyimpan banyak kilauan, tubuhnya tidak kurus juga tidak gemuk, tidak kecil dan tidak besar, bagiku dia selalu menempati angka yang tepat, seperti apapun bentuknya aku selalu berdecak kagum saat melihatnya, gugup ketika di sampingnya dan selalu terlihat bodoh saat di depannya, sampai selanjutnya aku tidak mengerti apa yang harus kulakukan, lalu situasinya semakin bertambah rumit karena rindu. Aku hanya mampu menatapnya dari kejauhan, tertawa kecil ketika ia mendengus sebal dan berteriak dengan nada marah kepada beberapa lelaki yang menggaggunya. Dia selalu terlihat hebat, selalu begitu.
Senja terus berlari begitupun fajar enggan untuk kalah dengannya dan tahun demi tahun pun telah berganti namun hati ini masih sama bimbangnya, dan masih pula untuk gadis yang sama. Dia tumbuh semakin menawan, elok dan terjaga dengan jilbab panjangnya. Ah jika saja kau turut melihat setiap detail dari cerita ini, maka kalimat apa yang akan kau gunakan untuk menjelaskan indahnya. Lalu, siapa pria yang tak akan melewatkannya, mungkin hanya aku satu satunya pria yang tidak pernah berani dan hanya bisa menduga-duga, apakah dia juga jatuh cinta padaku.
Semakin banyak pria yang mencoba untuk mendapatkan cintanya namun dia tetap diam, bersikukuh dengan pendiriannya untuk tetap hanya berteman sampai laki-laki yang menyatakan cinta itu juga berkata hal yang serupa di depan Ayahnya. Mendengar pendiriannya aku hanya bisa menelan getir, tersenyum kecut dan menatap bodoh pada bayanganku sendiri, lalu nanar sudah tak terlihat impian hari hariku bermesraan dengannya. karena aku hanyalah seorang pengaggumnya dalam diam, seorang pria yang tak pernah sanggup berani menatap matanya apalagi mengajaknya untuk makan bersama. Sedihnya, tak ada satupun yang mengetahui perasaan ini, tidak ada seorang teman yang dengan senang hati menjadi mak comblang, ah… siapa juga yang berani mengetuk gaduh pintu hatinya, jika aku saja terlalu malu dengan kesadaran pada diri ini. Maka kuputuskan untuk menutup rapat perasaan itu bersama dengan rindu yang bungkam, menyimpan semua rahasianya. Lalu berdoa semoga cerita ini tidak segera berakhir dengan getir.
Hari itu angkasa terlihat sama seperti saat pertama kali aku menempatkan dia di tempat yang tinggi dalam hatiku, biru sepanjang mata memandang, dan cerah tak berawan. Anak anak angin bersorak, dengan ramai mencoba memainkan kesegaran. Semua murid terlihat sibuk di hari kelulusan. Beberapa sibuk mencoba mencari pekerjaan dan beberapa lagi sama sekali tidak memutuskan, sedang aku tidak menjadi bagian dari keduanya. Aku duduk di bangku yang terletak di depan kelas XII 1, mengamati setiap sudut sekolah di detik detik terakhirnya, bermuka masam dengan pikiran berjalan keras, bimbang terhadap apa yang kukhawatirkan.
“Apakah takdir masih mempertemukan aku dengan dia kembali..” kata hatiku menyuara. Aku mengutuk diriku sendiri yang terlalu bodoh, “apa yang bisa kulakukan dengan perasaan ini bukankah tetap tak akan ada yang berubah meski dia juga mencintaiku, karena aku pun tidak cukup berani untuk mengawali sebuah pernikahan, lantas bagaimana…!,” gerutukuku kesal.
Dan disaat pikiranku berkecamuk kemudian hatiku mengaduh putus asa, “hei, apa kamu mendatapkan beasiswanya?” ucapnya dengan mata berbinar. Nafasku tersenggal, berlari tak menyamai degup jantungku. Hahh.., bagaimana ini gadis yang bayangannya sedang memenuhi beberapa syaraf di otakku itu berdiri tepat di depanku dan menanyakan bagaimana studyku, darahku berdesir, barangkali semangat mulai membakar jemari jemari kakiku, “entahlah, belum ada kabar” ucapku bergetar gugup, “ohhh…” jawabnya dengan nada menerima. Tak ingin membuat ia terluka segera kutanyakan kembali tentang studynya, kemudian dia kembali membuatku terpana. Menatap nanar bagaimana cara dia bercerita dengan semangat, suaranya selalu menyengangkan, selalu begitu. Terdengar nyaman sampai gemanya memantul memasuki ruang ruang di dalam hatiku, ah gadis ini mengapa begitu mengagumkan. “oh ya, aku pulang dulu ya” dan ia melangkah berlalu sembari melambaikan tangan menyisakan bayang wajahnya yang tersenyum. Sedang aku hanya bisa menatapnya, sedikit mengangguk dengan bibir terbuka.
Semenjak sore itu aku menjadi bersemangat untuk mempersiapkan segalanya, lalu kuputuskan untuk menghabiskan 10 tahun terakhir dengan mengambil S1 tehnik kimia lalu melanjutkan belajar sembari bekerja di Negeri Paman Sam, mengumpulkan uang receh dari sekeping hingga dua keping untuk pembuktian cinta yang sebenar benarnya tanpa merasa curiga jika sebenarnya takdir melangkah tak bersamaku. Sampai tadi malam langit menjelaskannnya kepadaku bahwa sebenarnya cinta tak serumit itu, cinta tidak bisa membutuhkan waktu untuk menunggu karena jika kau memang rindu engkau tidak bisa menunggu untuk tidak berlari ke arahnya.
Malam itu tak ada kabut yang memenjarakan bintang, sehingga ia bisa menemani rembulan untuk menghiasi semesta, dan di malam itulah langit sempurna membuatku tertunduk payah. Aku sedang duduk sambil membayangkan seperti apa dia sekarang, apakah dia tumbuh dengan sehat dan makan dengan teratur. Lalu seseorang datang, berdiri di depan pintu dengan senyum sumringah. “kemana saja kau selama ini?” ucapnya bersemangat, aku mengenalnya seperti aku mengenal diriku sendiri, seperti aku mengenal kota ini karena kami tumbuh bersama, ia sedikit berbeda. Wajahnya bergaris tegas, terlihat gagah dengan jambang. “aku hanya bermain, kemarilah…” gurauku, lalu kami saling bertukar cerita, sesekali saling meledek lalu tertawa lagi sampai akhirnya hati yang baru saja hangat itu berubah menjadi kelam dan dingin, “oh iya rey, datanglah besok bersamaku, pagi buta kau sudah harus di rumahku, sebagai sahabat kau turut memeriahkan bukan” ucapnya dengan nada menggembirakan, “baiklah baiklah” balasku, “siapa gadis yang mau menikah denganmu” ucapku sambil tertawa menggoda, “kau pasti mengenalnya Rey” sahutnya.
Kubuka undangan yang berwarna coklat dengan tali simpul merah muda itu. Hatiku berdegup, benarkah. Kucoba mengeja kembali nama wanita yang bersanding dengan namanya, sedikit gemetar untuk mengeja namanya lagi. Mencoba meyakinkan hatiku lagi, benarkah dia. Wening Angi Satiti, ucapku gemetar. Kurasakan darahku berdesir hangat dan rasanya sakit sekali., “apakah dia Wening teman sekelas kita dulu?” tanyaku mencoba membenarkan apa yang sedang terjadi. Senyum menggarisi wajahnya lalu “iya, aku melamarnya 3 hari yang lalu” ucapnya sedikit malu. Dadaku langsung sesak, ruangan itu tiba tiba terasa pengap dan ramai, gaduh membuat kepala sakit, bukankah di hari itu adalah hari pertama kali aku kembali, dan hari yang kusangka menjadi awal dari cerita indahku adalah hari berakhirnya cerita asmaraku. “iya, saat itu dia sedikit ragu awalnya tetapi ayahnya mengatakan bahwa sekarang sudah waktunya ia untuk menikah” penjelasan Zaki kali ini menamparku, seolah aku terseret memasuki putaran sebuah lubang hitam yang kelam, tapak kakiku terasa samar, lalu tak kudengar lagi ucapan Zaki yang selanjutnya, aku hanya diam lalu sesekali tersenyum dan pada akhirnya mengangguk sebelum Zaki pergi.
Semesta lalu menjelaskan cerita ini dengan lengkap tanpa sedikitpun terlewat, membuat aku semakin jatuh dan terluka. Di hari itu tepat beberapa detik setelah aku menginjakkan kaki di tanah Jakarta, di sisi langit yang lain sedang terjadi sebuah ikrar suci, sebuah pembuktian cinta yang sebenarnya, suatu kepastian tanpa ragu adalah cinta yang sederhana. Ketulusan yang tak pernah ternilai dengan dunia dan seisinya, “Apakah bapak merestui saya untuk mengambil alih pertanggung jawaban bapak baik di dunia ini maupun di akhirat kelak terhadap putri bapak, wening?” ucapan pemuda itu pelan tapi tegas, mengendalikan situasinya dan Bapak itu membalasnya dengan tatapan tajam bersahaja, lalu pada malam itu penentuan tanggal pernikahan pun terjadi. Aku jatuh berdebam di lantai kamar, masih memegang surat undangan itu dengan gemetar. Dan rembulan menatapku dengan kasihan, perih itu berdenyut denyut dalam setiap degup jantungku membuatku enggan untuk bernafas lalu aku terus terjaga sampai bukan rembulan lagi yang mengasihaniku melainkan mentari.
Kurapikan kemejaku sekali lagi, menutup lembaran puisi itu lalu meletakannya ke dalam laci meja, setiap abjadnya membuatku semakin sesak apalagi ditambah dengan melihat cincin yang terdiam indah berada di kotaknya sedangkan pemiliknya akan segera menikah membuat hatiku berdenyut denyut perih, badanku terasa berat. Di pagi hari yang indah itu aku tergugu di bawah jendela seperti anak kecil yang kehilangan mainannya atau pulang dari bermain tapi Ibunya tidak di rumah, ya Rabb berikanlah aku kekuatan. Aku masih tertunduk dengan mata terpejam merasakan perih di setiap jarum jam berdetak maka kuberanikan untuk pergi ke pernikahan itu, setidaknya untuk melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya, kuharap begitu lalu aku akan bisa melupakannya.
Ruangan itu penuh dengan warna putih, dan beberapa bunga mawar putih di setiap sudutnya, terlihat sederhana tapi elegan. Acara itu hanya dihadiri oleh beberapa tamu yang juga sekaligus menjadi saksi. Kulihat Zaki sudah menjabat tangan seorang Lelaki dan… “Saya terima nikahnya dan kawinnya Wening Angi Satiti binti Zufroni syahinudin dengan…”. Badanku gemetar lalu lamat lamat tak kudengar lagi suara Zaki sampai suara “Sahhh..” lantang menampar jiwaku. Hancur sudah tak berbentuk, dan semua benih benih rindu dan perasaanku mati langsung mengering tergantikan dengan rasa sakit yang tak tertahankan.
Pandanganku nanar dan akupun tak sanggup lagi untuk bersikap seolah semuanya sedang baik baik saja. Perlahan air yang menggenang di pelupuk mataku pun meluncur jatuh berdebam ke ranah bumi lalu sirna, jiwaku pun tak lebih baik dari itu. Suara Qiraah mengalun merdu mengiringi datangnya mempelai wanita. Wanita itu tersenyum simpul sebentar kepada pria yang menunggu di depannya, lalu melangkah pelan namun pasti setibanya ia mencium tangan Pria itu dan Pria itu mencium keningnya. Ya Rabb gadis itu, apa yang harus kulakukan. Sempurna karena aku tak mampu lagi untuk merasakan jiwaku berada di rungan itu, jika saja boleh kupilih mungkin aku akan memilih buta dari pada melihatnya atau barangkali lebih baik aku mati sebelum jatuh cinta dengannya dulu.
Aku berdiri lalu melangkah pergi, menjauh dengan membawa sepenggal cerita hidup yang tak akan sama lagi..
Aku memutuskan untuk meninggalkan semuanya, pergi dan barangkali tak kembali. Membiarkan cincin bersama puisinya lapuk di dalam laci meja yang lembab itu, kesepian diantara dinginnya kamar yang tak berpenghuni. Aku tertawa putus asa, mencibir tentang perasaanku lalu menangis kemudian berteriak dengan memekik, mengasihani hatiku dengan jiwa tak berakal. Tak lagi kurasakan tapak kakiku berpijak, sampai akhirnya aku tersungkur jatuh, dan ditengah keramaian Bandara aku duduk terisak sambil menyesali apa yang telah aku lewati. Lihatlah bukankah aku Pria malang yang kaya tapi miskin cinta, lihatlah Pria yang sama sekali tak bisa mendefinisikan cinta dengan sebenarnya. Lalu dengan langkah gontai aku memasuki pesawat, dan cerita ini pun berakhir, tak ada lagi yang bisa diselamatkan. Apalagi dengan perasaanku.
Sekarang aku bersembunyi di kota terpencil, menyibukkan diri sampai jatuh terlelap karena kelelahan hanya agar tak teringat dengan perihnya. Mengubur dalam diriku yang dulu lalu membinasakan hatiku, namun tetap saja sesekali aku masih merintih pada malam, menanyakan mengapa langit setega itu kepadaku, lalu tertawa putus asa dan saat paginya mencoba berlari dari kenyataan, apakah kau tahu adakah Pria yang lebih malang dariku atau hanya aku saja Pria dungu di dunia ini…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membantu Kesusahan Orang Maka Kesusahan Kita Akan Terangkat

Cerita Rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih

Cerita Rakyat La Moelu